BABELEKSPOS.COM, PANGKALANBARU – Babel Resource Institute (BRiNST) menggelar seminar timah nasional bertajuk ‘Timah Indonesia dan Penguasaan Negara’ yang digelar hybrid di Santika Bangka dan online melalui platform Zoom Meeting, Jumat (22/07/2022).
Kegiatan seminar ini menghadirkan sejumlah narasumber yakni, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Ridwan Djamaluddin, Anggota Komisi VII DPR RI, Bambang Patijaya, Direktur Penerimaan Negara Bukan Pajak SDA dan KND Kementerian Keuangan, Kurnia Chairi dan pengamat nasional, Mamit Setiawan.
Seminar ini digelar bertujuan untuk mengungkap sejauh mana kedaulatan negara terhadap mineral timah di Indonesia. Bentuk keterlibatan negara dalam pengelolaan sumber daya mineral ada tiga, yaitu pengaturan (regulasi), pengusahaan (mengurus) dan pengawasan. Aspek pengaturan merupakan hak mutlak bagi negara dan merupakan aspek yang paling utama yang diperankan negara di antara aspek lainnya.
Namun mengingat karakteristik sumber daya mineral yang unik, kegiatan dalam industri pertambangan secara finansial membutuhkan pendanaan yang cukup besar, maka pengusahaannya dilakukan oleh BUMN atau badan hukum swasta/perorangan dalam wilayah hukum pertambangan di Indonesia dengan regulasi yang berlaku.
Dari pengelolaan pertambangan, negara memperoleh pendapatan negara yang berasal dari penerimaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dan pendapatan daerah terdiri atas pajak daerah, retribusi daerah dan pendapatan lain yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sebagaimana diketahui bahwa Penerimaan negara yang berasal dari hasil pengusahaan ini dapat berupa penerimaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). PNBP memiliki peranan penting untuk meningkatkan pembiayaan pembangunan.
Penambangan timah yang telah berlangsung lama sejauh ini masih menimbulkan pro dan kontra khususnya terkait visi utamanya yaitu melahirkan kemakmuran. Apa yang terjadi pada pertambangan timah di Pulau Bangka Belitung telah menunjukkan terjadinya dampak sosial dan kecemburuan sosial. Selain itu tidak dapat menafikan persoalan pengelolaan lingkungan yang menimbulkan kerugian jangka Panjang.
Namun bagaimana kemudian faktual yang terjadi di wilayah pertambangan timah di Bangka Belitung? Sejauh manakah penguasaan negara atas pertambangan di Indonesia baik secara regulasi dan pengawasan? Kemudian apakah hal tersebut selaras dengan penerimaan negara dari sektor ini?
Pesan utama yang ingin disampaikan BRiNST dari seminar ini adalah, kedaulatan negara atas sektor pertimahan perlu penguatan, bahwa secara regulasi, pelaksanaan dan pengawasan harus memiliki sinergitas untuk mendukung pendapatan negara, Orientasi seluruh stakeholder untuk bergerak bersama dalam menata industri dan tata niaga timah nasional agar sehat, berkelanjutan, dan membawa manfaat seluas-luasnya khususnya pendapatan negara.
Timah Menjadi Mineral Kritis
Direktur Jenderal Mineraba Kementerian ESDM, Ridwan Djamaluddin mengatakan dirinya berharap ada persamaan persepsi apa yang dimaksud dengan penguasaan oleh negara. Menurut dia kepastian penguasaan, kewajiban hilirisasi dan aspek yang sangat pro lingkungan menjadi perhatian saat ini dan telah diatur pemerintah.
Menurut dia, melalui pengusaan negara telah jelas. “Secara penguasaan sudah sangat jelas, beberapa waktu terakhir ini, pimpinan mulai menyampaikan arahan, dalam waktu tidak terlalu lama, kita harus menghentikan ekspor timah. Namun apa yang dimaksud dengan timah, nanti akan dibahas selanjutnya,” kata dia.
Menurut Ridwan Djamaluddin, semangat menata kembali dunia pertambangan timah adalah bagaimana meningkatkan nilai tambah, pembukaan lapangan pekerjaan dan penguatan penguasaan oleh negara.
“Kita ingin mengatakan, karena timah di Indonesia tepatnya di Babel secara mayoritas, dampak sosial secara ekonomi yang semaksimal mungkin. Realitasnya saat ini kita kaya tetapi belum maksimal,” kata Ridwan Djamaluddin.
Menurut dia, ada ruang hilirisasi yang masih harus ditingkatkan. Pemerintah menurutnya akan mempertegas posisi Indonesia dalam permainan bisnis global. Dalam konteks timah di Bangka Belitung sebagai mayoritas produksi, Ridwan Djamaluddin mengatakan sektor ini merupakan tulang punggung ekonomi.
Ia mengatakan saat ini pemerintah sedang berusaha keras mencegah kebocoran pada bisnis timah. “Setiap tahun PT Timah Tbk rugi Rp2,5 Triliun karena tambang ilegal. Kita juga mencermati kerusakan karena tambang ilegal, 123 ribu hektar lahan kritis yang diakibatkan tambang ilegal, kita tidak mau mewariskan kerusakan pada anak cucu kita,” kata dia.
Dia mengatakan timah belum tergantikan, dan sangat dibutuhkan dunia dalam jangka panjang.
Ridwan Djamaluddin pun menyampaikan hasil terbaru kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Kementerian ESDM dan Menteri Koordinator Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan telah membahas kebijakan terbaru untuk sektor timah.
“Dalam pertemuan dengan pak Luhut, Menko Marvers, pemerintah menugaskan BPKP untuk melakukan audit terhadap tata kelola timah. Bahwa kami sudah mengeluarkan edaran, per 1 Juli 2022, semua smelter harus melaporkan sumber timahnya. Artinya bentuk penguasaan yang ingin kita wujudkan,” kata dia.
Selain itu, timah akan masuk dalam Sistem Informasi Mineral dan Batubara Antar Kementerian dan Lembaga (SIMBARA). “Semuanya kita masukkan, asal usul timah jadi tahu, smelter A mendapatkan timah dari IUP x, itu semua harus tercatat,” kata dia.
Ridwan Djamaluddin pun mengungkapkan bahwa pemerintah akan mengusulkan timah menjadi mineral kritis. “Dalam pertemuan kemarin itu juga, dibahas tentang usulan timah menjadi mineral kritis,” kata Ridwan Djamaluddin.
Dalam aspek penegakan hukum, Ridwan Djamaluddin mengungkapkan, saat ini dirinya sedang menata pertambangan ilegal. Bagi masyarakat yang terlibat dalam praktik pertambangan ilegal dapat mengurusi perizinan.
“Dalam kapasitas saya sebagai Pj Gubernur Bangka Belitung, yang saya lakukan adalah menata pertambangan ilegal agar dapat jadi ilegal, Bagi masyarakat yang ingin terlibat, saya menyediakan tempat pengurusan perizinan. Saya menyediakannya di eks rumah dinas Wakil Gubernur sebagai tempat mengajukan bantuan perizinan. Sehingga tidak ada alasan pihak yang melakukan kegiatan ilegal tidak mampu mengurusnya. Pemerintah sudah membuka jalan,” terang Ridwan Djamaluddin.
Sementara Anggota Komisi VII DPR RI, Bambang Patijaya mengatakan dirinya mendorong tata niaga timah yang lebih baik. ”Masyarakat dapat bekerja, aturan ditegakkan dan negara memperoleh pendapatan,” kata pria yang akrab disapa BPJ.
Dalam mengawal tata niaga timah ini, menurut Bambang Patijaya, banyak hal yang perlu disinergikan. Menurut dia, memformalkan penambang ilegal adalah langkah yang baik.
“Ini harus segera dilaksanakan karena hal tersebut rangkaian yang panjang dan cukup rumit,” ujarnya.
Ia mengatakan pihaknya menyerap banyak aspirasi masyarakat, mulai dari harapan pada IUP yang tidak maksimal diserahkan ke Pemda, hingga penerbitan Wilayah Pertambangan Rakyat.
“Bagaimana kita melegalkan yang ilegal tersebut, kita berharap segera memformalkan apa yang disampaikan Dirjen Minerba tersebut, karena setahu saya perlu terobosan yang cepat untuk merealisasikannya,” kata dia.
Lebih lanjut diutarakan dia, Komisi VII akan memantau langkah-langkah pemerintah pusat dalam menata pertambangan timah di Indonesia. Menurutnya baik itu pembentukkan satgas maupun regulasi, jangan sampai menimbulkan dampak sosial.
“Penegakkan hukum, apapun namanya perlu kearifan lokal dan tidak berdampak atau gejolak sosial,” katanya.
Terkait royalti, Bambang Patijaya menuturkan, usulan kenaikkan sudah lama dilakukan. Dirinya berharap negara tidak kehilangan momentum untuk memperoleh pendapatan untuk negara.
“Kami masih menunggu kajian dari pada direktorat minerba untuk duduk sama-sama. Para pelaku pembuat regulasi dapat memberikan win win solution yang bai. Jangan sampai pemerintah hanya menyampaikan isu yang kontra produktif,” ungkapnya.
Di kesempatan yang sama, Direktur Penerimaan Negara Bukan Pajak SDA dan KND Kementerian Keuangan, Kurnia Chairi mengatakan penerimaan PNBP timah di Bangka Belitung dipengaruhi volume penjualan dan harga.
Penerimaan 2020 menurun seiring turunnya volume. Namun penerimaan 2021 meningkat karena peningkatan volume dan harga. Penerimaan 2022 diproyeksikan akan meningkat karena meningkatnya harga timah.
Ia mengatakan Penerimaan Dana Bagi Hasil terbesar dalam 5 tahun terakhir diperoleh oleh pemda Provinsi Babel sebesar 522,57 miliar atau sebesar 22,69% selanjutnya Kabupaten Bangka sebesar 367,13 miliar atau 15,94%. Penerimaan DBH terbesar didapatkan pada tahun 2019 dengan total DBH sebesar 796,95 miliar.
“Untuk sumber daya minerba ini, sampai saat ini memang SDA minerba masih menjadi pemain kuncinya (pendapatan),” katanya.
Dengan sinergitas SIMBARA, kata dia, maka sektor pertambangan lebih terawasi. “Kedepan, Kementerian Keuangan bisa melihat dari hulu dan hilir pertambangan timah,” tukasnya.
Sementara itu Mamit Setiawan dari Energy Watch yang hadir dalam seminar tersebut mengatakan ada beberapa isu yang saat ini sedang dibahas, pertama wacana larangan ekspor timah, adanya wacana kenaikan royalti dan desakan penerbitan IUP untuk Logam Tanah Jarang.
Menurut Mamit perlu adanya tata kelola industri timah yang lebih baik lagi yagn tidak hanya berorientasi pada penerimaan negara tetapi juga terhadap masyarakat sekitar.
“Pelarangan ekspor timah harus dipikirkan kembali dampaknya bagi industri timah sendiri, industri dalam negeri, masyarakat, pemerintah daerah dan pastinya terhadap penerimaan negara,” kata dia.
Dengan cadangan timah Indonesia yang tidak besar, maka banyak persoalan yang harus disoroti dan menjadi persoalan industri timah nasional. Menurut dia cadangan itu diperkirakan hanya sampai 11-12 tahun ke depan.
“Tata niaga timah yang masih lemah dan belum mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah baik pusat maupun daerah,” kata dia.
Dirinya pun menyoroti konsumsi timah domestik yang masih rendah, dan hilirisasi timah yang lambat.
“Kalau konsumsi sedikir, dan industri hilirisasi lambat, akan sulit untuk indusrti ini di masa depan,” katanya.
Menurut Mamit Setiawan, kemudahan proses perizinan harus dilakukan agar masyarakat tidak terjebak di pertambangan liar.
“Rawan terhadap terjadinya konflik sosial masyarakat terkait perbedaan ekonomi yang cukup luas. Terhadap lapangan pekerjaan dan isu-isu lainnya,” tandasnya. (rel)
Komentar